INJATENGNEWS.COM|Akhir-akhir ini, sebuah kabar yang sangat disayangkan mulai santer beredar di kalangan civitas akademika STAI Senori: adanya indikasi pelarangan atau pembatasan yang ketat bagi mahasiswa untuk bergabung dan beraktivitas di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Isu sensitif ini tentu saja menimbulkan keresahan di tengah upaya kita bersama untuk menciptakan iklim akademik yang terbuka dan inklusif.
Sebagai bagian integral dari masyarakat Tuban dan kader Nahdliyin yang memiliki keterpanggilan moral terhadap kemajuan pendidikan, hati nurani saya terpanggil untuk meluruskan dan menanggapi kabar ini secara jernih dan berdasar. Jangan sampai informasi yang keliru dan tidak terverifikasi ini justru menciptakan kesalahpahaman yang akut, yang pada akhirnya hanya akan mengaburkan nilai-nilai luhur keislaman, keilmuan, dan kebangsaan yang selama ini kita junjung tinggi.
Penting untuk dipahami oleh semua pihak, terutama pihak yang mengeluarkan larangan, bahwa HMI bukanlah entitas yang bersifat antagonis atau organisasi tandingan terhadap ajaran agama maupun institusi kampus. Sebaliknya, HMI adalah salah satu pilar pengkaderan mahasiswa muslim terbesar dan tertua di Indonesia.
Organisasi ini didirikan sebagai wadah untuk membentuk karakter mahasiswa muslim yang mampu berdiri tegak di atas dua fondasi utama: keislaman yang moderat dan keindonesiaan yang kuat. Sejak pertama kali digagas dan didirikan oleh Lafran Pane beserta kawan-kawan di Yogyakarta pada 5 Februari 1947, HMI telah mengemban misi mulia untuk mencetak "insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT." Misi inilah yang secara konsisten membentuk kader umat dan kader bangsa yang memiliki integritas keilmuan tinggi, diimbangi dengan keimanan yang kokoh, dan semangat pengabdian yang nyata.
Hubungan historis dan ideologis antara HMI dengan Nahdlatul Ulama (NU) seringkali kurang dipahami secara mendalam. Padahal, HMI dan NU adalah dua kekuatan yang secara substansial saling menyatu dan saling menguatkan dalam konteks perjuangan kebangsaan dan keislaman.
Keduanya memiliki komitmen yang sama untuk menegakkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang bercorak moderat, toleran, menjunjung tinggi nilai-nilai ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), serta memiliki kecintaan yang tak tergoyahkan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejarah mencatat, banyak sekali tokoh besar HMI di berbagai level yang tumbuh dari rahim tradisi pesantren NU. Sebaliknya, banyak pula warga NU, terutama dari kalangan intelektual muda, yang memilih berproses di HMI untuk memperluas wawasan intelektual, mengasah kemampuan berorganisasi, dan memperdalam pemahaman keislaman mereka di ruang-ruang diskusi yang dinamis.
Dalam lintasan sejarah politik dan sosial Indonesia, baik NU maupun HMI selalu memilih untuk berdiri teguh di garis Tengah (tawassuth). Keduanya tidak pernah terjebak dalam pusaran ekstremisme kiri maupun fundamentalisme kanan.
NU, melalui tradisi pesantren, menanamkan ajaran keislaman yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), fokus pada pembinaan akhlak, dan kemandirian umat.
Sementara itu, HMI melatih kadernya untuk memiliki daya kritis yang tajam, kemandirian berpikir, dan peran aktif dalam merespons tantangan sosial kemasyarakatan.
Oleh karena itu, menyatukan semangat dan kaderisasi dari NU dan HMI bukanlah suatu kontradiksi, melainkan justru sebuah sinergi strategis yang vital untuk melahirkan generasi muslim terpelajar yang utuh: memiliki kedalaman ilmu, ketajaman analisis, dan kekuatan akhlak yang didasarkan pada nilai-nilai Aswaja.
Di luar landasan ideologis tersebut, pelarangan organisasi mahasiswa seperti HMI di lingkungan kampus tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Bahkan, tindakan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara kita. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
Secara eksplisit, Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin bahwa: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Kampus sebagai institusi pendidikan tinggi adalah tempat pertama dan utama di mana jaminan hak ini harus dihormati dan difasilitasi.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga memberikan dukungan kuat terhadap peran organisasi mahasiswa. Pasal 77 ayat (1) menegaskan bahwa: "Mahasiswa memiliki hak untuk mengembangkan diri melalui kegiatan ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler, sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan mereka."
Ketentuan ini memberikan legitimasi penuh kepada mahasiswa untuk memilih organisasi ekstra-kampus yang mereka anggap paling efektif untuk pengembangan diri. Selama organisasi tersebut legal, tidak bertentangan dengan hukum, dan tidak mengajarkan nilai-nilai radikal atau amoral, kampus wajib memberikan ruang dan bukan melakukan pembatasan.
HMI, dengan peran historisnya dalam mencetak pemimpin bangsa, adalah salah satu ruang terbaik untuk menyalurkan potensi keislaman dan keilmuan mahasiswa secara konstruktif dan transformatif.
Kampus idealnya adalah laboratorium kebebasan berpikir, ruang dialektika gagasan, dan tempat penyemaian karakter kepemimpinan.
Mahasiswa bukan sekadar wadah pasif yang hanya datang untuk menerima transfer ilmu di ruang kelas.
Mereka adalah calon pemimpin masa depan yang harus ditempa melalui dinamika kerasnya organisasi, proses pengambilan keputusan, diskusi kritis, dan pengalaman sosial. Menutup akses mahasiswa terhadap organisasi pengkaderan seperti HMI berarti secara sengaja menutup jalan emas bagi mereka untuk tumbuh menjadi kader umat dan bangsa yang bermental baja, kritis, dan bertanggung jawab.
HMI secara konsisten mendidik anggotanya untuk menjunjung tinggi ketaatan kepada Allah SWT, menghormati guru dan ulama (ta’dzim), berbakti kepada orang tua, dan mengabdi kepada masyarakat. Nilai-nilai ini sepenuhnya selaras dengan tradisi pesantren dan ajaran yang selama ini ditanamkan oleh para kiai dan tokoh NU. Oleh karena itu, kita harus menghindari narasi yang menyesatkan dan menciptakan polarisasi artifisial.
HMI bukanlah ancaman, melainkan mitra strategis bagi STAI Senori dalam membina mahasiswa menjadi insan yang utuh: kritis dalam berpikir, religius dalam bertindak, dan berakhlak mulia.
Jika kampus berani membuka diri dan bersinergi positif dengan HMI, hal itu niscaya akan memperkaya dinamika keilmuan di kampus dan memperkuat jalinan yang harmonis antara institusi akademik, pesantren, dan masyarakat sekitar.
HMI dan NU, dengan segala perbedaan corak geraknya, adalah dua kekuatan progresif.
Mereka ibarat dua sungai besar yang mengalir deras, namun menuju satu muara yang sama: Islam yang berkemajuan, berkeadaban, menjunjung tinggi toleransi, dan berpihak teguh kepada nilai-nilai kemanusiaan universal.
"Membatasi hak mahasiswa untuk berorganisasi bukanlah wujud dari ketertiban akademik, melainkan manifestasi dari ketakutan yang tidak berdasar terhadap kebebasan berpikir dan berdemokrasi di lingkungan intelektual."
Salam perjuangan dan persatuan,
Saya NU dan Saya HMI!
